42, adalah sebuah angka, sebuah nomor punggung seorang atlit baseball Amerika; Jackie Robinson. Lalu kenapa 42 dijadikan sebuah judul film? Karena disana, di Amerika, Jackie Robinson adalah seorang legenda, bahkan dianggap ‘dewa’ bagi dunia Baseball dan proses dia menjadi legenda itulah yang akhirnya menginspirasi Brian Helgeland menulis skenario-nya dan mengangkatnya menjadi sebuah film yang ciamik.
Baca juga : Review Green Book, Fenomena Rasisme Amerika 1960-an
Antara Olahraga dan Rasisme
Dari sisi cerita mungkin film ini hampir sama dengan cerita ‘true story’ sejenis seperti ‘Blind Side’. Yang isinya tentang perjuangan seorang atlit ‘minoritas’ menentang budaya amerika pada saat itu lekat dengan rasisme dan kemudian berhasil dan mendobrak-nya. 42 bercerita tentang Jackie Robinson, seorang atlit baseball amatir kulit hitam, yang punya skill mumpuni dan gaya yang unik.
Dimana skill-nya membuat direktur Tim Baseball Brooklyn Dodgers; Branch Rickey (Harrison Ford) merekrutnya. Masalah muncul karena pada jaman itu sekitar tahun 45-an di amerika sedang gencar-gencarnya rasisme. Orang keturunan kulit putih merasa lebih superior daripada ras lainnya, untuk referensi kalian boleh coba tonton Missisipi Burning yang diperankan William Dafoe muda. Disana digambarkan betapa warga kulit hitam sangat termarjinalkan dan tidak punya power for fight back.
Branch Rickey (Harrison Ford) akhirnya mengabaikan saran dari pensehatnya untuk tidak melanggar norma (merekrut negro). Beliau-pun berhasil merekrut Jackie Robinson.
Baca juga : Review Avenger Endgame, Film Terakhir yang Epik
Akting dan Plot yang Mempesona
Film berdurasi hampir dua jam ini, boleh dibilang memiliki kombinasi alur yang lambat sekaligus cepat. Penggambaran tiap-tiap karakternya (bahkan karakter utama) tidak terlalu mendetail namun disajikan dengan lembut dan mengalir. Sehingga penonton seperti diajak menyaksikan biografi singkat si empunya kisah.
Chadwick Boseman yang berperan sebagai Jackie Robinson sangat pantas mendapat tepuk tangan dari para penonton. Dia dengan cerdasnya mampu membangun emosi penonton melalui rasa empati yang pas, tidak berlebihan tapi juga tidak terlalu membuat penonton bersimpati.
Kita sebagai penonton seperti dibawa kedalam cerita, dan merasakan bagaimana rasanya menjadi Jackie Robinson. Atlit kulit hitam pertama dalam liga baseball profesional Amerika, dengan cemoohan dari penonton, pemain lawan, bahkan menerima penolakan dari rekan se-tim-nya sendiri.
Sayangnya, karena berdasarkan kisah nyata, konflik di film ini tidak terasa begitu kuat. Mungkin karena singkatnya scene-scene yang ditampilkan. Adanya konflik besar justru tercipta oleh lingkungan sekitar Jackie Robinson. Bukan disebabkan oleh faktor eksternal yang menghalangi karakter utama mencapai tujuannya.
Baca juga : The Intouchables, Film Biopik yang Epik
Overall, this is worth to watch. Tak hanya sekedar menghibur namun, film seperti ini bisa menambah pengetahuan penonton tentang isu-isu yang dulu pernah marak terjadi di Amerika. Dan yang paling penting, pesan moral dari film ini yang mungkin bisa berbagi inspirasi positif yang dimiliki Jackie Robinson kepada yang menonton.
Just For your Information, Jackie Robinson adalah satu-satunya pemain baseball profesional di Amerika dimana nomor punggungnya dikeramatkan (tidak digunakan lagi). Hal ini dilakukan sebagai penghormatan akan pengorbanannya terhadap isu rasial dan kemampuannya yang memang ciamik dan mumpuni; 42 Jackie Robinson.