Accidentally in Love by Alboni – Chapter 6

My First

Kata orang, yang namanya pernikahan itu umpama pohon cinta, yang akan terus bertumbuh dan menghasilkan buah yang manis melewati sebuah proses. Semakin kuat akarnya, maka semakin kuatlah pohon itu tegak berdiri. Dalam pernikahan akar diibaratkan sebuah komitmen yang ada pada suami maupun istri. Semakin kuat komitmen yang ada, maka semakin kuatlah biduk rumah tangga tersebut.

Sebuah perumpamaan yang gua kutip dari seorang penghulu di Kantor Urusan agama sewaktu gua dan Ines ikut yang namanya ’Penataran Pra Nikah’.

Saat itu sebulan sebelum melangsungkan pernikahan, pasangan calon pengantin diwajibkan untuk mengikuti yang namanya ’Penataran Pra Nikah’ yang isinya Cuma sekedar omong kosong nggak karuan tentang bagaimana menjalani kehidupan berumah tangga yang baik, benar dan sesuai dengan syariat. Parahnya penataran ini dilaksanakan pada jam dan hari kerja. Waktu itu gua dan Ines sampe bela-bela-in ’bolos’ kerja demi mengikuti yang namanya penataran ini. Awalnya gua sedikit penasaran dengan apa aja sih konten yang bakal disajikan saat penataran dan berbekal rasa penasaran itulah yang akhirnya membawa gua ke KUA didaerah kebayoran baru jakarta selatan.

Jam sepuluh pagi gua dan Ines sudah tiba di KUA, setelah bertanya ke bapak petugas yang sedang merokok di depan pintu masuk gedung (sangat tipikal orang Indonesia sekali si bapak ini, jam kerja, malah ’ngudut’ didepan kantor).
”Misi pak, kalo mau penataran disebelah mana ya?”
”Oh mau penataran?”
”Kebetulan iya pak..”
”Terlambat kamu.. udah buruan masuk, naik ke lantai dua..”
”Ok, makasih ya pak..”
Gua kemudian menarik lengan Ines yang malah asik moto-in bunga yang terdapat di pot-pot berjejer di depan gedung KUA.

”..Eh.. mas..mas..”
Terdengar panggilan dari si Bapak petugas yang tadi, setelah menghisap dalam-dalam rokok-nya dia meletakkannya di tanah, menginjaknya kemudian menghampiri kami yang baru saja hendak masuk ke dalam.

”…Daftar dulu.. sini..”
Si Bapak petugas tadi bergerak menuju ke sebuah meja yang bentuk dan warnanya mirip dengan meja guru di sekolah-sekolah negeri ditambah sebuah taplak segi empat berwarna merah dengan motif bunga-bunga, diatasnya terbuka sebuah buku dengan ukuran besar. Si Bapak petugas tadi menyodorkan sebuah spidol dan memberikan isyarat ke gua untuk mengisi buku yang seperti buku tamu sambil berkata;

”Biayanya 30 ribu ya per orang…”
”Oh.. kirain gratis pak..”
Gua bertanya sambil mengisi nama, alamat dan nomor telepon.

”Di Jakarta mana ada yang gratis mas…”
”Oh gitu pak.. nih pak..”
Gua mengeluarkan uang 60 ribu dan menyodorkannya ke Bapak petugas tadi.

”Minta kuitansinya dong pak..”
Si Bapak petugas tersebut seketika terbelalak, sambil mengambil mengantungi uang yang tadi gua berikan dia menaikkan kaki kirinya diatas pangkuan.

”..Kamu ini.. uang 60 rebu aja pake minta kuitansi..”
”Bapak keberatan?”
”Ya jelas..”
”Lho, kalo emang sesuai prosedur kenapa bapak keberatan? Saya kan Cuma minta kuitansi..”
Gua masih tetep keukueh ingin minta kuitansi. Pengen tau aja sejauh mana kejujuran dalam birokrasi di KUA ini bisa dijalankan.

Ines menarik lengan gua;
”Udah ah..”

Kemudian dia tersenyum ke arah Bapak petugas tersebut dan mengatakan;
”Nggak usah pake kuitansi pak.. maap ya..”

Dia menarik tangan gua dan berjalan ke arah tangga, menuju ke atas, sambil ngedumel nggak jelas. Beberapa saat kemudian kami sudah duduk pada barisan paling belakang di sebuah ruangan yang menyerupai aula. Di bagian depan seorang pria berkopiah putih dengan seragam berwarna hijau tengah berbicara. Gua mendengar selentingan tentang pesan-pesan pernikahan, tentang tips-tips dalam berumah tangga bahkan tutorial dalam menghadapi pasangan yang bermasalah. Pria berkopiah tersebut kemudian memberikan kesempatan bertanya kepada para peserta penataran, beberapa tangan mengacung ke atas, disusul pertanyaan-pertanyaan ’konyol’ yang bikin sisa peserta terbahak-bahak mendengarnya

”Ada lagi yang mau bertanya?”
Pria berkopiah tersebut memberi kesempatan lagi kepada peserta untuk mengajukan pertanyaan dan dari gesturnya sepertinya ini merupakan kesempatan terakhir.

Gua mengangkat tangan kemudian berdiri;
”Maaf pak, penatarann ini selesainya jam berapa ya?”

Si Pria berkopiah berdehem sebentar kemudian menjawab sambil memandang ke arah gua, tajam;
”Setelah sesi saya selesai, akan ada orang lain yang meneruskannya, mungkin baru selesai nanti sore. Ada masalah? Kalau anda ada keperluan lain boleh kok keluar, tapi ingat.. nanti anda nggak bakal dapet sertifikat..”

Gua Cuma memainkan alis mata sambil mengangkat bahu, terasa tangan dingin Ines menggenggam telapak tangan gua. Gua menatapnya, dia tersenyum kecil sambil berbisik;
”Sabar ya sayang.. sabar..”
Gua tersenyum;
”Iya..”

Jam menunjukkan pukul dua siang saat penataran selesai, gua dan Ines duduk di sebuah bangku panjang. Nggak seberapa lama, nama gua dan Ines dipanggil, seorang petugas wanita berkerudung menyerahkan dua buah map berwarna biru tua, bertuliskan masing-masing nama gua dan Ines pada bagian depannya. Gua membuka map tersebut dan terlihatlah sebuah kertas murahan dengan judul ’Sertifikat Pra-Nikah’ bertuliskan nama gua di bagian tengah yang sepertinya di print dengan printer yang tinta-nya sudah hampir habis. Gua berjalan keluar dari KUA menuju ke tempat parkir motor sambil ’ngedumel’ disusul Ines yang tergopoh-gopoh menyusul gua.

”Kenapa si kamu, bon? Daritadi kok bawaannya sewot melulu..”
”Nggak papa..”
”Nggak papa apanya, Kenapa sih?”
”Gua Cuma nggak abis pikir aja, ngapain coba kita buang-buang waktu hampir seharian Cuma buat sampah kayak gini..”
Gua berbicara sambil melambai-lambaikan sertifikat yang diprint pada selembar kertas ArtCarton 260gram berukuran A4.

”Ya kan tapi kita dapet ilmu juga, boni..”
”Udah ah, yuk.. gua anter pulang..”
”Pulang?”
”Iyak, emang mau nginep?”
”Kamu mau kerja?”
”Iya..”
”Yaah…”
Ines meraih helm yang gua sodorkan, diwajah tersirat kekecewaan dan seperti biasa gua selalu ’bertekuk lutut’ kalau dia sudah pasang tampang seperti itu.

”Emang lu mau kemana?”
”Nggak.. udah ayuk pulang..”
”Laah.. kok pasang tampang begitu?”
”Kirain kamu mau libur, kita jalan dulu kek kemana gitu..”
”…”
Gua menyalakan mesin motor dan kemudian melaju menuju padatnya jalan ibukota.
Selama perjalanan Ines Cuma diam saja, nggak seperti biasanya yang bawel dan nggak henti-hentinya ngomong dan bercerita. Gua menoleh kebelakang;
”Nes..”
”Hmm..”
”Diem aja..”
”Ga papa..”

Gua sadar dibalik kata-katanya yang ’Ga papa’ punya arti yang kurang lebih begini; ’Heloo.. ya jelas lah gua apa-apa’. Hidup disisi Ines selama ini benar-benar melatih kepekaan gua terhadap dirinya, terhadap wanita. Makhluk dengan gender ini memang sungguh misterius, sulit dimengerti dan nggak mengenal yang namanya logika, segala sesuatu-nya harus lah berdasarkan ’feeling’ dan perasaan. Gua dan (mungkin) para laki-laki didunia ini harus hidup dengan sebuah cobaan berat; ’Mencoba mengerti dan memahami perasaan wanita’.

Jikalau ada masalah atau sesuatu yang mengganjal, Ines nggak pernah mau mengatakannya langsung, dia lebih memilih diam sambil pasang wajah murung, kecewa kadang-kadang memelas. Gua dipaksa untuk mencoba menerka-nerka masalah apa yang ada dibenaknya. Kalau diabaikan maka akan keluar kata-kata seperti; ”Nggak Peka..”, ”Kurang Sensitif..” bahkan ”Nggak punya hati..”, disisi lain gua sama sekali nggak tau apa yang dia mau. Cmon..gals.. kalau kalian, para wanita nggak mau mengungkapkan, gimana kami, para pria bisa tau apa yang kalian mau.

Gua membelokkan motor ke sebuah mall yang terletak di Pondok Indah, Ines yang sejak tadi terdiam tiba-tiba bergerak, gua melirik Ines dari kaca spion motor, dia sedang celingak celinguk, bingung;

”Kita mau kemana?”
”…”
Gua Cuma diam.
Setelah memarkir sepeda motor, gua menggandeng Ines, berjalan menuju ke lobi mall, masuk dan menuju ke lantai tiga mall tersebut.

”Bon, kita mau ngapain kesini?”
”…”
Ines melepas genggaman tangan gua, kemudia berdiri dalam diam. Gua ikutan berhenti dan menoleh kebelakang.

”Kasih tau kek..”
Gua tersenyum kemudian berkata;
”Nonton..”
”Asiiiik…”
Ines berlari kecil kemudian kembali meraih genggaman tangan gua, kali ini lebih erat.

Ines masih nggak melepas genggaman tangannya saat memilih tempat duduk didepan monitor disebuah meja yang berbentuk seperti meja resepsionis. Wanita penjual tiket menyebutkan sebuah nominal yang harus dibayar untuk dua tiket, gua agak kesulitan mengeluarkan uang dari dalam dompet karena Ines tetap (masih) nggak mau melepaskan genggamannya. Entah kenapa, sepertinya kali ini wajahnya terlihat berbinar-binar, terlihat senang bukan main. Mungkin karena gua mau berubah pikiran untuk akhirnya nggak kerja dan mengajak dia jalan atau mungkin karena ini adalah kali pertama kami nonton di bioskop.

Setelah menunggu sekitar lima belas menit, terdengar suara perempuan yang renyah dan teduh, menginformasikan bahwa teater tempat film yang gua dan Ines bakalan nonton sudah dibuka dan para penonton dipersilahkan untuk masuk.

Gua dan Ines duduk berdampingan dikursi lembut dengan nuansa warna merah.Lampu-lampu bioskop mulai meredup dan film tentang raja yang gagap pun dimulai, menonton film ini sedikit banyak membangkitkan memori gua tentang Leeds, apalagi aksennya. Mungkin Begitu juga dengan Ines.
Sekitar hampir dua puluh menit film berlangsung, Ines yang sejak tadi masih menggenggam tangan gua, sekarang melepasnya. Kali ini di memindahkan tangan kiri gua, melewati belakang kepalanya dan meletakkan dibahu kirinya. Kepalanya disandarkan di dada gua, harum rambut dan parfum beraroma permen –nya menyeruak memenuhi hidung gua. Dan dalam sesaat gua kehilangan konsentrasi dalam menonton.

Ines mendongak, menatap ke arah gua penuh arti. Gua balas menatapnya sekilas, kemudian buru-buru mengambil ’coke’ ukuran medium dan menyeruputnya sambil menghela nafas panjang, salah tingkah. Ines tersenyum, menyentuh dagu gua dan memejamkan mata. Oh God.. Gua sedikit menundukkan kepala…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *