Everytime – Chapter 3

Chapter 3 Content :

#20 A Point of View Desita – Tiara

Sudah hampir 3 bulan terakhir ini gue mengenal pria kurus yang awalnya nyebelin bernama Solichin. Entah nasib baik yang kali ini sangat akrab dengan gue atau memang takdir yang menuntun gue, saat pagi itu Bu Indra memanggil gue ke ruangannya dan menyerahkan sebuah surat. Sebuah surat yang isinya pengangkatan gue sebagai karyawan setelah melalui masa probation.

Gue memasang tampang sumringah saat baru saja keluar dari ruangan Bu Indra, sambil menebar senyum ke seisi departemen HR gue berjalan menuju ke loby lift. Seperti biasa, Mbak Fitri selalu menatap sinis ke gue, seakan-akan ingin menerkam. Padahal gue juga nggak tau pernah punya salah sama dia, sebenarnya nggak cuma mbak Fitri aja yang berlaku seperti itu. Ada mbak Indah dari bagian Operation, Hesti dari Customer Service dan yang paling heboh menebar sinisme ke gua adalah mbak Janice dari bagian Finance. Sampai detik ini, gue tetap berusaha mengabaikan mereka, yang selalu bicara dan menggosip dibelakang gue tanpa tau apa sebabnya.

Gue melangkah keluar dari lift dan berjalan pelan menuju meja kerja gue. Meja kerja gue sendiri, sejak sebulan yang lalu gue resmi menghuni departemen Legal dan mengisi kekosongan salah satu karyawan yang mengundurkan diri, sejak saat itu pula gue jarang bertemu dan ngobrol dengan Solichin dikantor. Paling hanya saat makan siang dan saat dia mengantar pulang, terkadang saat dia datang lebih pagi, dia mampir ke lantai gue sambil membawa secangkir kopi, baru setelah itu dia bergegas naik ke tempatnya.

Dari hari kehari sejak perkenalan gue dengan Solichin, lambat laun perangai-nya semakin bergerak ke sudut yang positif, ya walaupun ada beberapa sifat yang sepertinya sudah terpatri mati pada dirinya. Sifat temperamental dan egoisnya terkadang masih sering mendominasi pola pikirnya yang kompleks. Pernah suatu ketika saat kami baru saja pulang dari menghadiri acara pernikahan salah satu rekan kerja dikantor, dia marah-marah cuma karena gue (katanya) berdandan terlalu ‘menor’, terlalu lebay (katanya), padahal menurut gue sih ya biasa-biasa aja, ya memang ada sedikit tambahan polesan dibeberapa bagian seperti tambahan blash-on pada pipi dan sedikit mascara yang memang notabene nggak pernah gue kenakan, make-up yang gue gunakan masih bisa dibilang standar, apalagi acara-nya di gedung, gue juga takut kalau-kalau nggak tampil maksimal, takut ngecewain Solichin. Tapi, ternyata responnya berbeda dengan yang gue harapkan, setelah melihat gue dengan make-up (katanya) seperti mbok-mbok mau kuda lumping, Solichin sukses marah-marah sepanjang perjalanan dari Palmerah ke Halim dan gue hanya mengabaikannya saja sambil menggenggam ponsel dalam pelukan, takut kesamber dan kena banting. Akhirnya, setelah sampai diparkiran, gue terpaksa membasuh wajah dan membersihkan make-up dengan air daripada harus terus melalui hari dengan Pria kurus yang cemberut.

Walaupun begitu entah kenapa gue selalu nggak bisa jauh darinya, dari Solichin. Dia yang terkadang suka menelpon marah-marah kemudian ngajak nonton, dia yang terkadang tanpa tahu waktu bersikap romantis, dia yang suka mendetail akan segala sesuatu, dia yang terkadang suka berlaku menyebalkan, selalu sukses membuat gue rindu, membuat gue nggak bisa terlalu lama berpisah dengannya. Tapi, gue masih ragu, bukan karena gue nggak suka, bukan karena gue nggak cinta, tapi justru karena gue terlalu jatuh hati kepadanya membuat gue terkadang kehilangan akal sehat dan terlalu terbawa mengikuti perasaan, melupakan status gue, yang buka apa-apa dihadapan dia dan keluarganya. Bahkan Bapak dan Ibu nya pun dengan kakaknya sepertinya nggak terpengaruh dengan status sosial dan ekonomi gue, Keluarganya boleh dibilang sangat baik dalam memperlakukan gue dan justru hal itu yang membuat keraguan gue semakin tebal, hal ini terlalu mudah, kalau ini takdir.. maka takdir ini terlalu mudah untuk orang seperti gue yang selama hidupnya selalu melawan badai kehidupan.

Itu yang membuat gue nggak pernah menggubris pernyataan cinta, permintaan jadi pacar dari Solichin. Sejak pertama bertemu sampai sekarang, memasuki bulan ke empat , total sudah hampir 24 kali Solichin ‘nembak’ gue. Entah lewat sebuah pernyataan seperti ; “Gua suka sama elu” atau lewat sebuah pertanyaan; “Jadi pacar gua ya, mau?”. Selepas dari yang sudah gue jabarkan, hubungan gue dengan Solichin memang seperti orang yang berpacaran. Nggak munafik terkadang gue suka merasa hati diperas-peras dan panas saat kedapatan melihat Solichin bersiul saat melihat perempuan seksi lewat dihadapannya, ujung-ujungnya dia cuma mengelus-elus bibirnya yang kena jepret karet oleh gue. Begitu pula Solichin, dia pernah ngamuk-ngamuk membanting ponsel pas tau gue dapet sms dari cowok, padahal itu cowok adalah si yusuf, si OB kantor yang nanya via SMS ke gue; “Mbak, des.. tau yang pegang kunci ruang mbak nggak… saya kekunci nih di ruangan mbak”.

Kata orang sih, cemburu itu bagian dari pacaran. Tapi kan gue sama Solichin nggak pacaran. Memang agak sedikit aneh, gue nggak pernah menggubris saat Solichin ‘nembak’ gue, tapi gue juga nggak pernah protes atau complain saat dia memperkenalkan gue ke orang lain sebagai pacaranya. Mungkin kata orang, namanya ‘HTS’ Hubungan Tanpa Status, tapi Solichin nggak setuju dengan sebutan itu, dia keukeuh kalau gue adalah pacarnya dan dia adalah Pacar gue, dan katanya nggak ada yang bisa merubah itu. Percaya diri sekali, ya memang.

Solichin punya banyak teman wanita, dan buat cewek yang jadi pacarnya pasti itu hal yang berat. Dan gue merasakan hal itu (oke anggaplah gue pacarnya), nggak bisa disembunyikan kalau dia memang punya karisma yang diluar batas, selain itu tanpa mengesampingkan uang bapaknya yang nggak berseri, Solichin juga punya kecerdasan yang diatas rata-rata, dia baik saat menghitung bilangan, perbendaharaan kata nya luas, dan cepat memahami pengertian yang abstrak. Hal itulah yang bikin dia nggak henti-hentinya jadi target sasaran wanita-wanita. Saat sedang berdua, terkadang gue sering membuka ponselnya dan mendapati banyak pesan-pesan dari nomor tanpa nama dengan bahasa mulai dari yang sopan sampai yang terdengar ‘binal’ dan tanpa lelah gue selalu memperlihatkan padanya sambil bertanya; “Ini siapa?”, “Kalo ini?”, “Ini..?”, “Kenapa nggak langsung diapus?” dan banyak pertanyaan model interogasi lainnya.

Dan satu wanita yang gue ketahui begitu intens mengirimi-nya pesan atau menelpon, bahkan lebih intens dari gue. Namanya, Tiara.

Hari itu, gue tengah bermain games yang berada di ponsel Solichin sambil bersandar pada kursi kayu yang terletak diberanda rumahnya. Saat itu terdengar suara klakson mobil dan disusul suara pintu gerbang kecil terbuka perlahan, kemudian sosok wanita, dengan jaket denim biru dan celana ketat berwarna hitam melangkah masuk kedalam. Dari gaya berjalannya yang anggun, bau parfum mahalnya yang mulai tercium dari jarak 10 meter dan berbagai aksesoris muahal yang menempel ditubuhnya bisa ditebak kalau dia nggak salah alamat, bisa ditebak pula kalau dia anak orang kaya. Solichin keluar dari dalam rumah sambil membawa gelas berisi teh hangat yang ditujukan untuk gue, setelah dia meletakkan gelas teh di meja sebelah gue, dia menghampiri wanita tersebut, cium pipi kira dan kanan dan mulai bicara, sementara gua menggenggam keras ponsel Solichin yang kebetulan berada ditangan gue.

“Kok mau kesini nggak bilang-bilang..”

Solichin bertanya ramah. Jelas aja banyak yang mengira dia available, gaya nya terhadap semua perempuan ramah dan genit.

“Aku udah sms kamu kok..”

“Ah, masa..”

Solichin bicara sambil cengengesan, sementara gue terkekeh sambil memandang ponsel Solichin dimana beberapa puluh menit yang lalu masuk sebuah pesan yang sepertinya dari wanita ini yang memberitahu kalau dia akan datang, tapi gue langsung menghapusnya.

“Kenalin nih, pacar gua…”

Solichin memperkenalkan gue sebagai pacarnya kepada wanita tadi yang kemudian menyebutkan namanya sebagai; Tiara.

Dan akhirnya, dikemudian hari wanita elegan bernama Tiara ini pula yang selalu hadir mengisi pertengkaran-pertengakaran diantara gue dan Solichin. Pertengkaran yang awalnya hanya percikan-percikan kecil yang perlahan membakar emosi kami berdua

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *