Dallas Buyers Club Review, Kisah Nyata tentang Pengidap HIV

Dallas Buyers Club, sebuah film yang diangkat berdasarkan kisah nyata dari seorang pria pengidap HIV-Aids dari Dallas. Yang mati-matian memperjuangkan pengobatan medis (yang jujur) terhadap sesama pengidap HIV-Aids melawan industri medis dan pemerintah Amerika (melalui FDA-nya). Cerita tentang seseorang yang hampir mati bukan karena penyakitnya melainkan karena rasa putus asa-nya terhadap obat HIV yang saat itu masih dalam pengembangan; AZT. Dan perlakuan orang-orang disekitarnya yang memandang mereka sebelah mata.

Baca juga : The Boy Who Harnessed the Wind Review (2019)

Ron Woodroof, seorang teknisi listrik, penjudi, perokok berat, pengguna kokain kelas kakap, pecandu seks dan kadang-kadang jadi seorang penunggang rodeo. Ron akhirnya di vonis HIV-Aids saat tak sengaja melakukan tes darah di rumah sakit ketika tersengat listrik. Dia divonis masa hidupnya tinggal 30 hari. Berawal dari sana, Ron Woodroof (Matthew McConaughey) kemudian bertemu dengan Rayon (Jared Letto) yang juga pengguna obat-obatan terlarang dan banci jadi-jadian yang juga sama-sama mengidap HIV-Aids.

Dallas Buyers Club

Menceritakan Efek samping Obat HIV

Ron Woodroof, seorang teknisi listrik, penjudi, perokok berat, pengguna kokain kelas kakap, pecandu seks dan kadang-kadang jadi seorang penunggang rodeo. Ron akhirnya di vonis HIV-Aids saat tak sengaja melakukan tes darah di rumah sakit ketika tersengat listrik. Dia divonis masa hidupnya tinggal 30 hari. Berawal dari sana, Ron Woodroof (Matthew McConaughey) kemudian bertemu dengan Rayon (Jared Letto) yang juga pengguna obat-obatan terlarang dan banci jadi-jadian yang juga sama-sama mengidap HIV-Aids.

Mereka berdua, yang awalnya kurang ‘klop’, sering saling ejek, kemudian sama-sama mencari pengobatan yang efektif untuk penyakit mereka. Ron pun mencari obat alternatif hingga ke Meksiko. Disana doi diberikan obat alternatif dari dokter yang sudah dicabut ijin prakteknya; Dr. Vass (Griffin Dunne). Menurut penelitian yang sudah dilakukan oleh Dr.Vass ternyata AZT (yang tengah dikembangkan pemerintah) malah punya efek samping parah terhadap para pengidap HIV. Oleh karenanya beliau menolak keras penggunaan AZT dan menyarankan para pengidap HIV untuk mengkonsumsi vitamin-vitamin yang dia berikan seperti Peptida-T.

Ron kemudian kembali ke Dallas dengan nyamar sebagai pastur sembari membawa berkardus-kardus vitamin Peptida-T. Melalui konsultasi singkat-nya dengan Dr.Vass jugalah Ron bersama-sama dengan Rayon akhirnya membuka sebuah klub konsultasi. Di klub tersebut para pengidap HIV bisa menjadi member dengan membayar sejumlah uang per bulan, dan kemudian bakal mendapatkan treatment vitamin gratis. Klub ini dinamakan Dallas Buyers Club.

Orientasi Ron dan Rayon pun berubah. Awalnya mereka membentuk klub ini adalah murni untuk bisnis. Namun perlahan-lahan mereka berdua sadar akan efek jangka panjang pengobatan ala Dr.Vass yang mereka jalani. (Ron masih hidup lebih dari 30 hari, tidak sesuai dengan vonis dokter). Dari situ kemudian Ron dan Rayon memulai perjuangan mereka untuk menolak penggunaan AZT yang ternyata saat itu sudah disahkan dan mulai digunakan untuk para pengidap HIV-Aids.

Dallas Buyers Club

Plot sederhana, Dengan kualitas Akting Nomor satu

Walaupun genrenya Drama, tapi film yang disutradari oleh Jean-Marc Vallée ini tidak terlalu mengharu-biru. Plotnya dan ide cerita yang sederhana terbayar oleh akting Matthew McConaughey dan Jared Letto yang luar biasa ciamik. Matthew McConaughey sangat total memerankan tokoh utama; tukang judi, pecandu seks dan pengguna drugs yang terlihat unlikeable. McConaughey berhasil membuat penonton kesal dibuat melihat perilakunya. Namun, seiring berjalannya film penonton bakal terkesima dengan transformasi pada diri Ron Woodroof, dari unlikeable menjadi favorable. Tidak salah makanya di film ini si Matthew McConaughey akhirnya mendapat Oscar sebagai Aktor utama terbaik.

Begitu pula dengan Jared Letto, perannya sebagai banci jadi-jadian yang kerap membuat penonton ‘jijik’. Namun tetap memiliki karisma tersendiri. Penonton akan disuguhkan perasaan aneh yang campur aduk saat melihat dua tokoh utama dalam sebuah film. Yang mana ‘hubungan persahabatan’ yang ‘menjijikkan’ itu terlihat memorable, Aneh!. Tapi, dari ‘keanehan’ itu si Jared Letto juga menang Oscar sebagai aktor pemeran pembantu terbaik, mantab!

Tidak hanya mereka berdua saja yang menonjol. Jennifer Garner yang berperan sebagai Dr. Eve juga terlihat begitu memukau. Garner mampu berakting dengan memposisikan diri sebagai profesional yang berdiri diantara persimpangan AZT dan efek sampingnya.

Tepuk tangan paling meriah pada akhirnya harus di sampaikan ke si sutradara Jean-Marc Vallée yang mampu membuat film based on true event menjadi nyaman di tonton.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *