Review Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi – Cerpen buatan Seno Gumira Ajidarma yang dibuat di tahun 1995, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi diadaptasi ke layar lebar oleh rumah Produksi Himaya Studio. Kali ini, sineas John De Rantau yang pernah menggarap film Denias: Senandung Di Atas Awan dan Wage didapuk untuk menggarapnya.
Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi berkisah tentang kehebohan di sebuah kampung di Jakarta karena para ibu-ibu melakukan demonstrasi ke Pak RT Muchus (Mathias Muchus). Hal ini terjadi karena keresahan mereka akan permasalahan rumah tangga yang diakibatkan oleh kehadiran Sophie (Elvira Devinamira),mahasiswi yang kos di rumah Pak RT.

Kebingungan menghadapi massa demo, Pak RT pun berusaha mendengarkan keluhan warga. Namun rupanya pokok permasalahannya lebih membingungkan lagi. Ibu-ibu warga RT tersebut mengeluh tidak pernah disentuh, digauli, atau dinafkahi secara batin oleh para suami mereka dikarenakan kehadiran Sophie.
Mereka menuduh ketika Sophie menyanyi di kamar mandi sambil mandi dengan suaranya yang serak-serak basah membuat suami-suami mereka, yang mengintip dan berkumpul di belakang tembok kamar mandi, kerap berimajinasi liar sehingga bersikap dingin di atas tempat tidur di rumah. Pak RT yang pusing pun berusaha menengahi dan mencari solusi.
Sophie yang tengah dekat dengan Senja (David John Schaap) sebenarnya tidak tahu menahu dan kaget mendengar cerita demonstrasi tersebut. Sophie pun menerima nasehat dari Pak RT untuk tidak lagi menyanyi di kamar mandi dengan harapan lingkungan RT tersebut menjadi tenteram.
Hal yang menarik ketika menonton Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi adalah rupa Jakarta yang ditampilkan serealistis mungkin. Jakarta ditampilkan lewat sudut kampung-kampung kecil yang terhimpit beton dan gedung pencakar langit simbol kapitalisme. Hal ini dibantu dengan sisi teknis sinematografi yang menonjol bersama musik latar dari band indie ternama, The Upstairs.
Baca juga : Review Film Dua Garis Biru: Debut Memuaskan Gina S. Noer Sebagai Sutradara
Dibalut dengan ringan dan jenaka, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi menghadirkan kritik sosial yang beragam. Di luar perkara pengangguran, ketimpangan, hingga kemiskinan, yang acap disebut-sebut sebagai masalah struktural yang tak pernah punya jalan keluar, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi juga menyoroti isu hoaks yang menjangkiti dinamika masyarakat dalam beberapa tahun belakangan.

Bila mengacu pada cerpennya, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi memang penuh hal satir dan metafora yang cukup sukses diterjemahkan ketika diadaptasi ke layar lebar. Hanya saja, di beberapa bagian, film terasa sangat “teater” sehingga berisiko tidak mudah dipahami oleh penonton awam.
Untuk menghindari faktor tersebut, plot cerita berusaha dialihkan ke hubungan Sophie dengan Senja. Namun sub plotyang tipis, terasa tidak bermakna, cheesy dan dimainkan tidak mengesankan oleh kedua aktornya membuat sub plot tersebut terasa hambar dan tidak mendukung plot utama.
Baca juga : Review Rumah Merah Putih, Kisah Ironi di Timur Indonesia
Kedua pemain tersebut menjadi salah satu kelemahan dalam film ini, Elvira Devinamira di film keduanya setelah Single nampak masih harus belajar lebih banyak lagi. Begitu juga dengan David John Schaap yang tidak ada perkembangan setelah penampilan mudah terlupakannya dalam film Pancaran Sinar Petromaks Gaya Mahasiswa. Hal ini jelas perlu disesali mengingat pemain lain yang memerankan warga RT tampil sangat baik dan gemilang dalam adegan demonstrasi yang sulit dari segi pembagian dialognya.

Anne J. Cotto, Anna Tarigan, Maryam Supraba, Emmy Lemu dan pemeran ibu-ibu lainnya mampu mengimbangi performa Mathias Muchus yang luar biasa ekspresif dalam film ini. Sementara itu para pemeran bapak-bapak seperti Yayu Unru, Totos Rasiti, Ricky H. Malau, Yan Widjaya, dan lain-lain tidak diberikan banyak kesempatan untuk memberikan akting yang berkesan selain sebagai suami yang mesum dan dingin pada istri di rumah.
Kekurangan lain dalam film Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi ini adalah kualitas penulisan komedinya. Harusnya, Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi bisa menjadi film yang lucu melihat premis dan para aktor pendukungnya cukup komikal. Hanya saja sangat disayangkan berbagai lelucon dan punchline komedinya sering gagal memancing tawa.

Overall, Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi hanya pantas diberikan rating sebesar 5.8/10 karena kurang berhasil mengeksekusi naskah cerpen yang sarat kritik sosial namun tetap lucu dan jenaka ini.
One comment