Tema Down Syndrome memang tak lazim diangkat dan (seakan) belum punya tempat di dalam sinema Indonesia. Kali ini, rumah produksi Adiksi Film berani mengangkat tema “tidak populer” dalam perfilman Indonesia tersebut ke layar lebar.
Dibintangi Ariyo Wahab, Puteri Ayudya, dan Arina Dhisya, film Down Swan dibuat sekaligus untuk memperingati World Down Syndrome Day di tahun ini.

Film Down Swan bercerita soal pasangan suami istri muda, Mitha (Putri Ayudya) dan Bisma (Ariyo Wahab) yang menantikan kehadiran seorang anak. Keinginan mereka akan segera terkabul setelah Mitha hamil. Mitha membayangkan bahwa saat anaknya mulai tumbuh, dia akan mengajarkan balet, salah satu hobinya, kepada anaknya.
Namun, pada suatu momen, Mitha dan Bisma mendapatkan kabar yang sangat-sangat menyesakkan hati serta pikiran mereka. Ketika pemeriksaan kandungan, dokter menyebutkan bahwa bayi yang dikandung Mitha memiliki kecenderungan mengidap Down Syndrome.

Kabar yang tak nyaman di telinga Mitha dan Bisma. Terutama Mitha yang benar-benar berada di bawah tekanan, Bisma herupaya menenangkan hati dan pikiran sang isti.
Baca Juga: https://icinema.id/review-film-pariban-idolad-dari-tanah-jawa/
Seiring waktu, sang bayi kecil tersebut tumbuh menjadi gadis kecil yang lucu. Nadia (Arina Dhisya) namanya. Meski sudah mulai tumbuh besar, namun sang Ibu, masih sulit untuk menerima kondisi putrinya. Apalagi, ketika Nadia justru mulai tertarik dengan balet.

Down Swan sebetulnya berpotensi untuk hadir sebagai salah satu film tentang Down Syndrome terbaik dengan menjajaki sejumlah aspek-aspek penting (medis hingga sosial) dalam keluarga dengan anak Down Syndrome.
Disutradarai Fuad Akbar, film Down Swan berpusat pada kisah anak berkebutuhan khusus yang ingin menjadi balerina. Ditujukan untuk penonton segala usia, cerita dan plot Down Swan (sebenarnya) sangat sederhana. Sayang, konflik batin yang dialami sang ibu tidak dieksekusi dengan cukup baik.
Down Swan tampak sangat “tergesa-gesa” membawa penonton ke masa ketika Nadia menginjak usia sembilan tahun. Plot masa kecil Nadia dieksekusi secara cepat sehingga penonton sulit memahami bagaimana sang ibu bisa menderita depresi.
Tak ada adegan postpartum depression (PPD) atau stres pasca-melahirkan sebagai bagian konflik yang dialami Mitha.
Tak digambarkan pula celetukan tetangga, nasihat orang tua, atau upaya membandingkan Nadia dengan anak lainnya, yang mampu membuat konflik terlihat nyata, bukan hanya ide bahwa si anak memang berbeda. Alhasil, depresi Mitha tak cukup meyakinkan dan seolah bersumber dari ruang kosong.

Efeknya, penonton seperti diminta untuk mengikis stigma dan berempati dengan karakter-karakter utamanya tanpa harus mengetahui benar sebab permasalahan dan situasi sosial di seputar stigma tersebut.
Overall, Down Swan layak diberikan rating sebesar 6.5/10 karena keberaniannya dalam mengangkat tema tidak populer dan “kurang seksi” untuk dijual di dunia perfilman Indonesia.
One comment