Kucumbu Tubuh Indahku: Mempertanyakan Batas Antara Feminitas dan Maskulinitas dalam Kisah Penari Lengger

Garin Nugroho kembali membuat film berkualitas internasional berjudul Kucumbu Tubuh Indahku. Karya terbaru dari Garin ini sebenarnya bukan film yang benar-benar baru.

Setahun sebelumnya, film karya Garin Nugroho ini telah ditayangkan di beberapa event dan festival film internasional serta mendapatkan beberapa penghargaan, di antaranya ‘Bisato D’oro Award Venice Independent Film Critic (Italia, 2018), Best Film pada Festival Des 3 Continents (Perancis, 2018), dan Cultural Diversity Award under The Patronage of UNESCO pada Asia Pacific Screen Awards (Australia, 2018).

Film Terbaru Garin Nugroho

Garin bukanlah sosok anyar dalam kancah perfilman Indonesia. Hampir seluruh film besutannya memiliki kualitas dan warna yang khas, yang acapkali menyentuh pada lingkup tema sosial-politik. Dalam film Kucumbu Tubuh Indahku, Garin kali ini mengangkat kisah tentang perjalanan hidup seorang penari di sebuah desa kecil di Jawa. 

Cerita dalam film ini diangkat dari kisah seorang penari dan koreografer bernama Rianto. Selain kisah hidup Rianto, kisah kelompok-kelompok tari di Jawa juga menjadi inspirasi cerita dalam film ini

Sosok Rianto yang Menginspirasi Film Ini

Potret Kekerasan dan Simbol Darah yang Menimbulkan Trauma

Juno kecil (Raditya Evandra) telah melihat dan mengalami rupa serta bentuk kekerasan di berbagai fase kehidupannya. Ia melihat bagaimana guru tari lengger-nya (Sudjiwo Tedjo) membunuh seorang anak buah karena kedapatan bersenggama dengan istri sang guru lewat cara yang sadis.

Sosok Juno Kecil, Sang Tokoh Utama

Ia juga mengalami bentuk kekerasan yang dilakukan oleh bibinya sendiri (Endah Laras) karena Juno lebih gemar memeriksa pantat ayam dengan jari-jarinya, apakah si ayam hendak bertelur atau tidak, ketimbang menekuni pelajaran sekolah. 

Juno Kecil Telah Melihat Berbagai Bentuk Kekerasan yang Membuatnya Trauma

Sang Bibi menghukum Juno, menusuk jari-jari kecil Juno satu per satu dengan jarum, berharap Juno bisa kapok. Akibatnya jemari Juno diperban, ia tak bisa memeriksa pantat ayam lagi, bahkan merasa tak percaya diri lagi ketika belajar menari. Jemarinya yang lentik itu mendadak seperti tak berdaya.

Dua hal itulah yang menimbulkan trauma pada diri Juno hingga dewasa. Ia membenci kekerasan. Ia tak suka melihat darah. Baginya darah merupakan bagian dari kekerasan.

Baca Juga:https://icinema.id/27-steps-of-may/

Selain itu, “Darah” ialah manifestasi yang paling kentara dari potret kekerasan dalam Kucumbu Tubuh Indahku. Bahkan, meski darah itu muncul setitik di ujung jari Juno, tetap bermakna kekerasan jika itu dilakukan secara paksa.

Juno Remaja Saat Menjadi Gemblak dan Sang Warok yang Menjadi Pasangannya

Setelah Juno agak dewasa (Muhammad Khan), ia masih saja merasakan trauma itu ketika bagian tubuhnya tak sengaja tertusuk jarum. Ia akan menatap cukup lama pada jarum itu (atau peniti) dan titik darah yang keluar, seolah-olah tengah berupaya keras mendamaikan konflik yang berkecamuk di dalam dirinya.

Pertanyaan Tentang Batasan Maskulinitas dan Feminitas

Layaknya film Garin lainnya, Kucumbu Tubuh Indahku penuh dengan simbol dan dialog monolog yang menjelaskan setiap fase cerita. Rianto memerankan sosok Juno dewasa ketika membawakan sebuah dialog monolog yang menjadi penyambung setiap fase cerita.

Baca Juga: https://icinema.id/mantan-manten-film-tentang-keihklasan-dan-keyakinan/

Meski secara fisik, tubuh Juno adalah tubuh laki-laki. Dalam definisi normatif, tubuh laki-laki harus diisi dengan sifat-sifat yang maskulin. Tapi masalahnya tubuh laki-laki Juno tak bisa patuh pada definisi normatif itu; jiwa dalam tubuh Juno adalah feminin.

Juno Remaja Saat Menjadi Gemblak

Sejak diperkenalkan dengan tari lengger, ia belajar memahami tubuh dan jiwanya. Lengger sendiri berasal dari dua unsur kata, “leng” artinya lubang yang merujuk pada vagina, dan “ger” artinya jengger ayam jago yang menjadi simbol penis. 

Hal ini dituturkan sang guru tari (Sudjiwo Tedjo) ketika memperkenalkan tari lengger pada Juno untuk pertama kalinya. Menurut sang guru, tubuh Juno adalah tubuh penari. Tubuh yang sangat istimewa dan indah. Tak semua orang memiliki seperti yang Juno miliki itu.

Penari Reog Sebagai Simbol

Tari lengger adalah tari yang dimainkan oleh laki-laki yang merias dirinya seperti perempuan. Dalam kesenian Banyumas, ini adalah tradisi yang alamiah dan bukan sesuatu “aib” yang mesti dibasmi seperti yang kerap diresahkan oleh masyarakat modern yang dogmatis. Jika tariannya dilakukan oleh perempuan, namanya bukan lengger, tapi ronggeng.

Yang jadi persoalan adalah masyarakat di zaman ini kerap menghubungkan LGBTIQ sebagai gerakan gender yang berbasis barat, asing, dan cenderung berbahaya. Padahal, peradaban manusia telah lama mengenal keberagaman gender itu. Tari lengger sendiri disinyalir sudah ada sejak masa Majapahit, riwayatnya tertulis di dalam Serat Centhini.

Juno Remaja Ketika Menjadi Penari Lengger

Kembali lagi pada sosok Juno. Sejak kecil ia tak benar-benar mempermasalahkan identitasnya itu. Ia menerimanya sebagai sesuatu yang alamiah dan tari lengger adalah medium penyalur ekspresi dari ketubuhannya yang kompleks. 

Homoseksualitasnya ini bahkan menemukan titik kematangan ketika ia bertemu seorang petinju laki-laki (Randy Pangalila) dan jatuh cinta kepadanya. Di masa ini, tampaknya Juno merasa bebas menjadi dirinya sendiri, meski si petinju itu entah mencintai Juno sebagai kekasih, entah hanya menganggapnya sebatas sahabat.

Juno dan Sang Petinju yang Diperankan Randy Pangalila

Bersama si petinju, Juno mengalami seperti apa rasanya kasih yang memancar keluar dari dalam perasaannya begitu saja. Rasa ketertarikan ini adalah suatu keniscayaan manusia, dan cinta bukan melulu urusan hubungan badan. Juno tak berhubungan badan dengan si petinju, tapi toh ia tetap merasakan semacam kesejatian cinta.

Hal berbeda didapatkan Juno ketika membangun relasi homoseksualitasnya lagi dengan seorang warok. Dalam kesenian Reog Ponorogo, warok adalah seorang sakti mandraguna dan berperan sebagai pemain utama dalam pertunjukan.

Juno Ketika Menjadi Gemblak dan Menjalin Hubungan dengan Warok

Peran sentral warok tidak hanya di atas pentas, tapi juga di dalam realitas sehari-hari. Seorang warok akan memilih seorang laki-laki (gemblak) yang punya tubuh indah untuk dijadikan pasangan hidupnya. 

Relasi Juno dengan seorang warok itu justru berkebalikan dengan relasi Juno sebelumnya dengan si petinju. Relasi warok-gemblak adalah relasi yang tak imbang. Meski hasrat seksualitas Juno terpenuhi, kehendaknya tidaklah bebas. Ia “objek” yang hanya dimiliki sang warok. 

Bagaimanapun, problem dalam Kucumbu Tubuh Indahku tidak bisa disederhanakan dengan isu LGBTIQ sebagai suatu wacana seksualitas semata. Lebih dari itu, ia membawa problem sosial-budaya yang selama ini langgeng dikonstruksikan dalam pakem yang ajeg. 

Juno Remaja dan Sang Petinju yang Membuatnya Jatuh Cinta

Kucumbu Tubuh Indahku meletakkan problem dasar pada setiap manusia perihal binaritas yang kontradiktif, yang tak hanya terjadi pada LGBTIQ.

Kucumbu Tubuh Indahku menawarkan pertanyaan terbuka antara batasan maskulinitas dan feminitas.

Di balik sajian sinematografi yang kaya dengan wacana dialogis, Kucumbu Tubuh Indahku menawarkan solusi bagi kekerasan agar mau membuka diri dalam jalan kedamaian.

Layaknya tokoh Juno yang berdamai dengan semua trauma kekerasan yang dialaminya sebagai pengalaman berharga untuk hidupnya.

Karena itu, rasanya tak heran Kucumbu Tubuh Indahku mendapatkan standing ovation dari para penonton di bioskop tempat saya turut menyaksikannya.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *