Hari Film Nasional, dan sejarahnya

Indonesia merayakan Hari Film Nasional setiap tahun sekali pada 30 Maret 2019. Di Indonesia sendiri, film sempat sangat populer di masa tahun 1950-an dan saat tahun 1980-an. Saat itu (tahun 1980-an) film Indonesia sempat merajai bioskop-bioskop lokal. Banyak Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Tak hanya film-nya saja, Aktor dan aktris yahud pun lahir di masa itu. Sebut saja Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady, Desy Ratnasari.

Baca juga : Warkop DKI Reborn Kembali Diproduksi

Namun, akar dari perayaan Hari Film Nasional bukanlah berasal dari era tersebut (1980-an). Melainkan dari era jauh sebelum itu, yaitu era 1950-an. Saat itu, 30 Maret 1950, film Darah & Doa (Long March of Siliwangi) yang disutradarai Usmar Ismail melakukan syuting hari pertama. Film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang mengusung ciri Indonesia. Selain itu, film ini merupakan film pertama yang disutradarai orang Indonesia dan diproduksi oleh perusahaan film Indonesia, yaitu Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Yang mana Perfini sendiri didirikan oleh sang sutradara, Usmar Ismail.

Berdasarkan hal tersebut, konferensi Dewan Film Nasional pada 11 Oktober 1962 menetapkan 30 Maret menjadi Hari Film Nasional. Keputusan ini lalu diperkuat dengan munculnya Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional yang diterbitkan di era Presiden BJ Habibie.

Diawali dengan sebuah Bioskop

Geliat film di Tanah Air diawali saat bioskop pertama berdiri di daerah Tanah Abang, Batavia, pada 5 Desember 1900. Bioskop tersebut saat itu belum memiliki nama, sehingga masyarakat menyebutnya : Teater Gambar Idoep. Di bioskop tersebut ditayangkan berbagai film bisu. Lebih dari dua dekade setelahnya, pada 1926 film lokal pertama yang bertajuk Loetoeng Kasaroeng dirilis. Film bisu ini disutradarai oleh sutradara Belanda, G. Kruger dan L. Hueveldorp. Dua tahun berselang, seorang berkebangsaan Tiongkok datang ke Indonesia dan menggarap film Lily Van Shanghai. Walaupun kedua film tersebut banyak menggunakan banyak aktor lokal, namun film-film tersebut dianggap masih mencerminkan dominasi Belanda dan Cina.

Atas alasan itu pula akhirnya tahun 1950 dianggap sebagai tahunnya kebangkitan film nasional. Pada 1951 diresmikan pula Metropole, bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Di era ini, jumlah bioskop meningkat pesat, walaupun sebagian besar masih dimiliki oleh kalangan non pribumi. Pada 1955 terbentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI).

Yuk, hargai film lokal Indoensia dengan menontonnya di bioskop atau membeli DVD original-nya. Selamat Hari Film Nasional!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *