Bokap
Belakangan ini Bapak seringkali mengajak gua untuk menghadiri pengajian-pengajian. Disela-sela tausiyah yang diberikan dipengajian, acapkali bapak menyempatkan untuk bertanya kepada Ulama atau Habib yang memimpin pengajian. Biasanya para jama’ah akan menulis pertanyaan diatas kertas, yang kemudian nanti dikumpulkan lalu dibacakan oleh sang penceramag diatas mimbar.
Sampai saat ini, terhitung sudah lebih dari 8 kali gua menghadiri pengajian bersama bapak. Dan disetiap kesempatan tersebut, bapak selalu mengajukan pertanyaan yang sama. “Apa hukum menikah beda agama?”
Al-Quran surat kedua; Al-Baqarah, ayat 221: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”
Haram hukumnya laki-laki menikahi wanita yang bukan muslimah. Hampir semua pertanyaan bapak mendapat jawaban yang serupa. Dan, biasanya setelah mendapat jawaban seperti itu, bapak lalu tersenyum tipis, mengangguk-anggukan kepalanya kemudian mencolek gua. Yang lalu gua respon hanya dengan mengangkat alis dan menarik nafas panjang.
Metode yang digunakan bapak, seperti ini (Mengajak gua untuk ikut pengajian) merupakan sebuah upgrade dari metode sebelumnya yang sepertinya kurang sukses. Seperti, selalu menyetel ceramah Zainuddin MZ melalui radio-tape dan bahkan membuat gua kuliah di Semarang.
Toh, nyatanya gua (masih) tetap berhubungan dengan Marcella.
Pernah suatu ketika, bapak mencoba menjodohkan gua dengan anak teman kerjanya dulu.
“Rif, kenalin nih.. Om Sabar..” Bapak berkata ke gua, suatu siang diruang tamu rumah.
“Nah, ini Laras, anaknya Om Sabar.. Laras ini seumuran lho sama kamu..” Bapak kembali memperkenalkan gua ke seorang gadis berkerudung yang duduk disebelah Om Sabar.
“Hai…” Gua lalu menyodorkan tangan kearah Laras setelah bersalaman dengan Om Sabar. Namun, bukannya meraih tangan gua Laras malah menyatukan kedua tangannya sambil menunduk memberi hormat. Sebuah adab Islam yang cukup kental, dimana wanita muslim tidaklah boleh bersentuhan dengan pria yang bukan muhrim. Walaupun hanya berjabat tangan.
Setelah melakukan obrolan-obrolan ringan dengan Bapak, Om Sabar dan Laras pun pamit. Sementara gua, semenjak tadi hanya mengururng diri dikamar.
“Riiif.. riiff.. sini….” Terdengar suara Bapak memanggil gua dari arah ruang tamu.
“Kamu ini ada tamu bukannya diajak ngobrol malah kekamar…?” Sambut Bapak begitu, gua menunjukkan diri di ruang tamu.
“Lah, kan tamunya Bapak.. masa saya ikut nimbrung…” Gua menjawab sambil menjatuhkan diri diatas sofa.
“Kan, kamu bisa ngobrol sama Laras…” Bapak kembali bicara, kali ini nadanya sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.
“Ah.. males.. orang nggak kenal..”
“Ya gimana bisa kenal, kalo kamu nggak mau ngobrol..”
“…”
“Laras tuh orang-nya baik.., lulusan Al-Azhar.. agamanya bagus.. anaknya sopan.. dan …..”
“Bapak tau darimana dia baik dan agamanya bagus…?” Gua menyela ucapan bapak selum dia menghabiskan ucapannya.
“Kamu ini kalo dikasih tau sama orang tua, bisanya nge-jawab melulu..” Bapak bangun dari duduknya sambil melotot ke-arah gua.
Ibu yang duduk disebelahnya kemudian ikut berdiri dan menepuk pundak bapak sambil berkata: “Udah ah pak, nggak usah bentak-bentak…”
Gua lalu ngeloyor pergi, masuk kedalam kamar. Samar-samar terdengar makian bapak yang menyebut: “Dasar, anak nggak tau diuntung..”
Seminggu setelah kejadian tersebut, Ibu menyambangi kamar gua. Dia mengetuk pintu yang memang sudah terbuka dan duduk di tepian kasur tempat gua berbaring sambil menatap layar ponsel. Ibu lalu mengusap lembut ujung kaki gua dan berkata; “Rif.. Marcella apa kabarnya?”
Gua lalu duduk lalu menjawab; “Baik bu..” sambil menyunggingkan senyum.
“Emang kamu mau lanjut terus sama Marcella, rif..?” Ibu kembali bertanya.
Pertanyaan tersebut sontak membuat gua sedikit terkejut. Gua lalu menggaruk-garuk kepala, bingung bagaimana harus menjawabnya.
“Ya maunya sih lanjut terus, tapi..”
“Tapi apa..?” Ibu kembali bertanya.
“Nggak tau ah, pusing…” Gua lalu merebahkan kembali tubuh keatas kasur sembari menutup kepala dengan bantal.
Ibu lalu bangkit berdiri, dan berkata; “Kalo menurut kamu bener, jalanin aja rif.. Ibu mah cuma bisa doain supaya kamu bahagia..” sambil berjalan keluar lalu menutup pintu kamar.
Dari balik bantal, gua lalu merenung sambil menarik nafas panjang. Dari awal gua menjalin hubungan dengan Marcella, gua tau masa seperti ini mau tak mau pasti tiba. Dan, sepertinya gua belum siap jika harus menghadapi kenyataan ini.