Selamat Jalan Opa
Ketiga ujung jemari gua tak merasakan adanya denyut di nadi Opa, suara parau menyerupai dengkuran yang sebelumnya keluar dari bibirnya pun perlahan menghilang. Gua menjatuhkan diri dilantai, disebelah ranjang tempat gua merebahkan tubuhnya. “Inna Lillahi wa inna ilayhi raji’un” gua menggumam pelan dalam hati.
Sementara suara isak tangis Marcella masih terdengar menembus ruang. Sesekali, dalam isaknya ia memanggil Opa. Ia seakan tahu apa yang terjadi pada kakeknya, seakan ia tahu bahwa kakenya telah berpulang ke haribaanNya.
Gua bangkit, berdiri, keluar dari dalam kamar. Diruang tamu, terlihat Marcella masih bersimpuh dilantai, sementara kepalanya disandarkan pada kedua tangan diatas kursi rotan. Ia mendongak, mengangkat kepalanya dan memandang kearah gua. Matanya sembab memerah, air mata mengalir deras membasahi kedua pipinya. Helaian rambutnya yang panjang menelisik disela-sela wajahnya.
Sambil berlutut disebelahnya, gua membelai rambut Marcella, lalu disambut dengan pelukan darinya. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, hanya isak tangis yang menggambarkan kesedihan yang mendalam.
Menit setelahnya, tetangga mulai berdatangan. Beberapa diantaranya muncul dimuka rumah karena penasaran dengan suara tangisan Marcella. Melihat hal tersebut, mereka langsung menyadari bahwa ada hal yang tak ‘beres’ dengan Opa, dan tebakan mereka tepat. Tak butuh waktu lama, untuk para tetangga akhirnya memenuhi rumah Marcella. Selain karena jarak antar rumah yang begitu berdekatan, mayoritas warga disini sangat mengenal Opa karena kebaikan hatinya.
Beberapa kerabat yang datang sesekali bertanya ke Marcella perihal jenazah Opa, namun diabaikan olehnya. Ia masih belum beranjak dari dekapan gua. Isakannya masih terdengar, sesekali ia menyeka air matanya dengan ujung kaos gua, kemudian kembali menenggelamkannya dalam pelukan. Gua pun sejak tadi hanya terdiam, tak kuasa memberinya kata-kata penguat atau ucapan basa-basi berbela sungkawa. Bukan, bukan itu yang Marcella butuhkan, mungkin ia hanya ingin menangis sejadi-jadinya, berharap kepedihannya hilang seiring dengan banyak air matanya yang mengalir.
Terlihat beberapa kerabat dan keluarga membopong tubuh lunglai Opa menuju keluar rumah. Sayup suara sirine terdengar dari ujung gang rumah Marcella, tanpa keputusan Marcella yang enggan menjawab pertanyaan dari para kerabat jenazah Opa. Akhirnya mereka bersepakat untuk segera membawanya ke rumah sakit yang kemudian baru akan diberangkatkan ke rumah duka yang berada di daerah Jelambar. Setidaknya, itu hal yang gua dengar dari hasil diskusi para kerabat dan saudara disana.
Berjam-jam berikutnya, Marcella masih berada didekapan gua. Namun, kali ini isakannya telah mereda, dan nafasnya yang tak lagi menderu. Sepertinya ia tertidur.
Ponsel gua bergetar dari saku celana, layarnya menampilkan nama “Bapak” yang tertulis dengan huruf yang besar.
“Halo.. Assalamualaikum…” gua menjawab panggilan sambil mengucap salam. Mendengar hal tersebut, beberapa kerabat Marcella yang berada disana menatap gua, dingin.
“Halo, waalaikumsalam.. rif.. kamu kok belom pulang..” Suara Bapak terdengar diujung sana.
“Iya belum, pak.. kakeknya Cella meninggal…” Gua menjawab lirih.
Cukup lama tak ada jawaban dari bapak, hingga beberapa detik kemudian suaranya memecah kesunyian.
“Inna Lillahi wa inna ilayhi raji’un… Yaudah nanti kalo pulang ati-ati..” Ucar Bapak lirih, disusul suara salam darinya sebelum mengakhiri panggilan.
Seminggu setelah pemakaman Opa.
Gua duduk diatas motor yang terparkir didepan sebuah rumah besar bercat cream, dengan sebuah pagar kayu modern yang menjulang tinggi.
“Cell, lama deh…” Gua bicara melalui ponsel, ini merupakan panggilan kedua gua pagi ini, setelah hampir 15 menit gua menunggu.
“Iyaa sabaaar..” ia menjawab singkat.
Sejak ‘kepulangan’ Opa, Marcella enggan tinggal dirumah peninggalan orang tuanya. ‘Traumatis’ alasannya. Sudah tiga hari belakangan ini, ia memilih untuk kost di daerah Slipi, ‘Biar deket kantor’ katanya.
Pagar kayu rumah besar tersebut kemudian sedikit menggeser terbuka, Marcella ‘menyelinap’ keluar sebelum pagar kayu tersebut terbuka. Setelah mengucapkan terima kasih kepada seorang pria yang membukakan pagar untuknya, ia berlari kecil menghampiri gua yang berada diseberang jalan.
“Lamaa…” ujar gua menyambutnya.
“Maaap… cewek kan dandan dulu rif..” Marcella beralasan.
Mendengar jawabannya, gua menoleh kearahnya yang tengah mengenakan helem dengan tergesa-gesa.
“Dandan?.. kok nggak kayak orang dandan?…” gua bertanya seteleh melihat wajah Marcella yang terlihat ‘biasa’ saja, terlihat natural, nggak menor namun tetap cantik.
“Iya.. ini namanya ‘no-make-up’ make-up..” Marcella menjelaskan teknik dandan yang ia gunakan. No-Make-Up makeup merupakan seni ber-dandan yang hasilnya seperti tak menggunakan make-up.
“What?!.. ya klo gitu nggak usah dandan lah..” gua berargumen.
“Udah buruan, ntar telat…” Ia bicara sambil naik ke jok belakang motor.
Nggak habis pikir gua dibuatnya. Aneh!
Pernah suatu saat kami saling beradu argumen mengenai hal serupa: Makeup. Gua pernah berpandapat kalau wanita itu makhluk paling ribet yang pernah diciptakan Tuhan. Selain kasus No-Make-Up makeup, Marcella juga pernah mencukur alisnya, kemudian ia membuat lagi alis dengan pensil alis. Buat apa dicukur kalo ujung-ujungnya dibuat lagi, Weird! Dan ini dilakukan dengan kesadaran penuh.
“Eh, ntar jadi nonton nggak?” Marcella lalu membuka percakapan saat kami tengah berada dalam perjalanan.
“Jadi dong..” Gua menjawab singkat. Iya kemarin gua berinisiatif mengajaknya nonton, sengaja menghadirkan hiburan untuknya agar nggak tenggelam dalam kesedihan yang mendalam.
“Kalo nggak nonton, gimana?” Ia bertanya.
“Lho kenapa?”
“Makan aja.. biar kita bisa ngobrol…, gua kangen ngobrol lama sama lo..kalo di bioskop kan nggak bisa ngobrol..” Marcella mengungkapkan alasannya enggan nonton dibioskop.
“Oh, yaudah.. bebas.. asal lo nggak sedih lagi…”
Mendengar jawaban gua, Marcella mempererat pelukannya, kemudian berucap lirih; “Makasih ya rif.. udah mau nemenin gua terus…”